Gizi Pada Lansia

Kebutuhan Makronutrien
1.      Kebutuhan Energi
Untuk mengurangi kenaikan berat badan yang tidak diinginkan, asupan energi harus diturunkan mengingat berkurangnya massa otot dan aktifitas fisik. Pada waktu yang sama, asupan protein, vitamin dan mineral tetap sama bahkan ada yang meningkat seperti vitamin B-6 dan Kalsium.
Berbagai studi di Indonesia maupun di luar negeri menunjukan banyaknya lansia yang asupan energinya di bawah AKG. Asupan yang jauh di bawah atau di atas AKG memberikan dampak yang buruk atau kurang baik. Namun, secara epidemologi asupan energi sebesar 20% di bawah AKG justru memberikan pengaruh yang positif. Di Okinawa yang dilaporkan oleh Kagawa pada tahun 1978 maupun di AS yang dilaporkan oleh Belloc dan Breslow 1972, Mereka yang berusia panjang bahkan mencapai 100 tahun ternyata mengkonsumsi energi 20% dibawah AKG.
Terdapat 8 variabel modifers kuat yang berperan dalam pencapaian usia panjang, dimana tiga variabelnya termasuk kategori gizi, yaitu: pengendalian berat badan, makan secara teratur termasuk makan pagi dan konsumsi alkohol yang moderat atau tidak sama sekali.
Kebutuhan protein untuk lansia di Indonesia berdasar Widya karya Nasional Pangan dan Gizi pada tahun 2004 dianjurkan 60 gram/hari untuk laki-laki dan 50 gram/hari untuk perempuan usia 60 tahun ke atas dengan berat badan standar 60 dan 50 kg. Jenis lemak juga sangat menentukan bagi kepentingan selain sebagai sumber energi. Sangat dianjurkan bahwa sumber lemak omega 3 dan omega 6 ada dalam makanan sehari-hari, sumbernya adalah minyak nabati, kacang-kacangan, ikan laut (lemuru, salmon, makerel). Harper dan Jacobson menganjurkan untuk semua umur, tidak mengkonsumsi lemak di atas 30% dari keseluruhan energi yang masuk dalam sehari.
Kebutuhan hidrat arang pada lansia minimal harus masuk 50-1000 gram hidrat arang setiap harinya, hal ini baik untuk mencegah ketosis. Sumber arang hidrat yang dianjurkan untuk lansia adalah yang memiliki nilai indeks glisemik yang rendah sehingga cukup kadar seratnya. Selain itu, kebutuhan air pada lansia juga harus diperhatikan, karena risiko terjadinya dehidrasi yang tidak disadari cukup tinggi. Asupan air yang kurang dapat meningkatkan osmolalitas serum yang dapat mengganggu kesimbangan asam basa darah. Asupan air yang dianjurkan adalah 30 ml/kg BB/hari.

Kebutuhan Mikronutrien
            Kebutuhan akan vitamin E,C dan sebagian besar vitamin B pada lansia tak berbeda jauh dengan kebutuhan pada usia dewasa. Namun demikian terjadi perubahan kebutuhan akan vitamin A, D dan B-6. Kebutuhan akan vitamin B-6 meningkat oleh karena penurunan atau kurang efisiennya absorpsi vitamin tersebut, terutama pada wanita.
            Absorpsi seng dan magnesium pada lansia juga menurun. Perubahan absorpsi disebabkan oleh penurunan fungsi intestinum atau karena adanya penurunan kebutuhan, namun untuk jawaban pastinya belum ditemukan. Difesiensi seng yang marginal dapat berpengaruh terhadap indra pengecap dan penyembuhan luka yang melambat. Selain itu, Absorpsi kalsium pada lansia juga menurun. Di Indonesia AKG tahun 2004 masih berada pada tingkat 800mg/hari bagi lansia.

Masalah Gizi pada Lansia
1.      Kehilangan berat badan
Kehilangan berat badan pada lansia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, diantaranya:
1.      Wasting, adalah kehilangan berat badan yang tidak disadari yang disebabkan oleh asupan yang tidak adekuat. Asupan yang tidak adekuat disebabkan oleh penyakit maupun faktor psikososial.
2.      Cachexia, adalah kehilangan massa tubuh bebas lemak yang tidak disadari yang disebabkan oleh proses katabolisme dan ditandai dengan adanya peningkatan rate metabolic dan peningkatan pemecahan protein.
3.      Sarcopenia, adalah kehilangan massa otot yang tidak disadari sebagai bagian dari proses menua yang kadang-kadang tidak ada penyakit yang mendasari.
Faktor risiko terjadinya malnutrisi pada lansia antara lain disebabkan oleh beberapa faktor medis seperti selera makan yang rendah, gangguan gigi geligi, disfagia, gangguan fungsi pada indera pencimuan dan pengecap, pernafasan, saluran cerna, neurologi, infeksi, cacat fisik dan penyakit lain seperti kanker. Sedangkan pada lansia yang dirawat di rumah sakit, beberapa keadaan seperti makanan rumah sakit yang kurang disukai, waktu makan terbatas, tidak mampu makan mandiri, pemandangan, suara dan bau di sekitar yang tidak menyenangkan, kebutuhan meningkat karena penyakitnya, puasa untuk prosedur pemeriksaan faktor dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi.
Kurangnya pengetahuan mengenai asupan makanan yang baik bagi lansia, kesepian karena terpisah dari keluarga dan kemiskinan juga menentukan status gizi lansia. Selain itu, adanya faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, dan demensia juga mempunyai kontribusi besar dalam menentukan asupan gizi seorang lansia.

2.      Obesitas
Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan terjadinya obesitas terutama obestas sentral. Meningkatnya usia menyebabkan proporsi lemak intra abdominal meningkat secara progresif. Pada lansia yang menderita obesitas, penurunan berat badan dapat menurunkan kesakitan karena arthritis, diabetes, dan juga menurunkan risiko penyakit cardiovascular serta dapat meningkatkan kualitas hidup. Selain itu, peningkatan aktifitas fisik pada lansia dapat memperbaiki kekuatan otot dan kesehatan lansia secara keseluruhan.
3.      Osteoporosis
Setelah berusia 30 tahun, individu mulai kehilangan massa tulangnya. Pada wanita, kehilangan massa tulang meningkat setelah menopause, sehingga lansia wanita memiliki risiko tinggi untuk patah tulang (osteoporosis tipe I). Sedangkan pada lansia laki-laki risiko untuk menderita patah tulang terjadi pada usia sangat lanjut, yaitu setelah usia 70 tahun (osteoporosis tipe II).
Osteoporosis dapat dicegah dengan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup, olahraga, dan menghindari merokok serta minum minuman beralkohol. Sedangkan bila osteoporosis sudah terjadi, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan cara menurunkan resorpsi tulang dengan cara terapi sulih hormone dan biphosponat atau menstimulai pembentukan tulang dengan pemberian flourida, calcitonin dan calcitriol.
4.       Anemia Gizi
Anemia gizi pada lansia disebabkan karena asupan makanan yang menurun atau efek samping dari obat-obatan. Pada umumnya, anemia gizi yang terjadi pada lansia adalah anemia difesiensi besi, meskipun anemia difesiansi vitamin B12 (anemia perniciosa) juga sering ditemui. Pemberian makanan sumber zat besi dan vitamin B12 dengan asupan protein dan kalori yang cukup dapat membantu mengatasi anemia difesiansi dan vitamin B12. Suplementasi besi dan vitamin B12 dapat diberikan pada lansia dengan dosis yang rendah dan secara bertahap dapat dinaikan, hal ini untuk meghindari efek samping obat.

Penatalaksanaan Gizi pada Lansia
1.      Lansia sehat yang berada di tengah masyarakat
Keluarga memiliki peran yang sangat besar pada perawatan lansia. Lansia mebutuhkan bantuan atau perawatan dari keluarganya atau orang-orang disekitarnya terutama ketika sakit atau tidak bisa merawat diri. Keadaan sosial ekonomi lansia seperti pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan dukungan dari keluarga atau masyarakat di sekitar dapat menentukan status gizi lansia. Lansia dengan pendapatan terbatas cenderung membeli makanan hanya sekedar untuk mengenyangkan perut.
Berikut ini merupakan beberapa rekomendasi gizi yang dapat diberikan pada lansia yang hidup mandiri di tengah masyarakat, diantaranya adalah:
a.       Pola makan seimbangn dengan variasi bahan makanan
b.      Sumber karbohidrat terutama dari karbohidrat komplek dan mengurangi refined karbohidrat
c.       Sumber protein bervariasi antara protein hewani dan nabati
d.      Mengurangi sumber lemak jenuh dan lemak trans
e.       Cukup vitamin, mineral dan serat dengan mengkonsumsi sayur dan buah (3 porsi sayur dan 2 porsi buah per hari)
f.       Cukup cairan
2.      Lansia yang dirawat di rumah sakit
Pada umumnya, lansia yang dirawat di rumah sakit berada dalam keadaan multi patologis. Berikut ini merupakan beberapa tahap yang dilalui dalam pengelolaan gizi pada lansia yang dirawat di rumah sakit, adalah penapisan gizi, pemeriksaan klinis, antropometri, laboratorium, asesmen diet, diagnosis gizi, intervensi gizi dan monitoring.
a.      Penapisan Gizi
Penapisan gizi dilakukan untuk mengetahui apakah lansia memiliki risiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang dideritanya atau perawatan di rumah sakit. Penpisan gizi dapat dilakukan dengan cara  Subjective Global Assessment (SGA) atau Mini Nutrional Assesment (MNA). SGA merupakan metoda yang banyak dipakai karna sangat sederhana dan pelaksanaannya juga mudah. Pemeriksaan SGA adalah menggolongkan pasien dalam keadaan status gizi baik, berisiko malnutrisi atau malnutrisi berat.  Pemeriksaan SGA meliputi wawancara dan observasi mengenai berat badan dan perubahan berat badan selama 6 bulan dan 2 minggu terakhir, ada tidaknya gangguan gastrointestinal, gangguan fungsional, status metabolic dari penyakit, serta muscle wasting dan edema. MNA mempunyai dua bagian besar yaitu screening dan assessment, yang mana penjumlahan semua skor akan menentukan seorang lansia pada status gizi baik, berisisko malnutrisi atau underweight.
b.      Pemeriksaan Klinis
1)      Pemeriksaan fisik
Berbagai kelainan yang diakibatkan dari kekurangan gizi dapat ditemukan melalui pemeriksaan fisik seperti kehilangan lemak sub kutan, ulkus decubitus karena kekurangan protein dan energi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka yang lambat karena defisiensi seng dan vitamin C dan paresthesia akibat defisiensi vitamin B6. Manisfestasi klinis yang sering di jumpai pada lansia adalah gangguan keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi yang berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume kening. penurunan tekanan darah, mual muntah, mental confusion, dan gagal ginjal akut.
2)      Keterbatasan fisik
Status gizi pada lansia dapat dipengaruhi oleh fungsi tubuh yang berhubungan dengan pola makan. Misalnya, berkurangnya fungsi indera penglihatan dan pendengaran seringkali menyebabkan lansia merasa terisolasi dan berakibat pada penurunan dan selera asupan makan. Gigi geligi yang tanggal atau terdapat karies, penyakit pada gusi dan penurunan produksi saliva yang menyebabkan mulut kering juga berpengaruh terhadap pemilihan makanan dan menurunkan asupan zat gizi.
Selain itu, perubahan indera perasa dan penciuman akibat infeksi saluran nafas yang berulang dan penggunaan obat-obatan jangka panjang juga dapat memengaruhi asaupan makanan pada lansia. Gangguan fungsi menelan (dysphagia) pada lansia pada umunya juga merupakan proses patologis pada susunan syaraf dan memerlukan pengelolaan gizi yang tepat.
Masalah gastrointestinal yang sering ditemui pada lansia adalah intoleransi makanan termasuk intoleransi laktosa, dan alergi makanan. Selain itu, gluten sensitivity enteropathy (clieac disease) juga dapat ditemui pada individu berusia 70 atau lebih dengan gejala yang tidak khas seperti lemah dan anemia. Dispepsia pada lansia juga ditandai dengan nyeri pada ulu hati dan rasa penuh atau sebah. Hal ini disebabkan oleh konsumsi obat seperti aspirin, anti imflamasi, alkohol yang berlebihan dan stress psikologis. Kelainan-kelainan tersebut dapat menurunkan asupan makanan dan status gizi pada lansia. Berbagai penyakit kronis yang diderita lansia dan pegobatan yang diberikan juga dapat menggangu asupan makanan pada lansia.
3)      Pemeriksaan fungsional
Gangguan fungsi pada kemampuan untuk berbelanja, menyiapkan makanan dan makan secara mandiri dapat mengganggu asupan makanan pada lansia. Selain itu, fungsi kognitif dan psikologis juga dapat menentukan status gizi pada lansia. Sebagian besar kehilangan berat badan pada lansia disebabkan oleh depresi. Anoreksia, mual dan muntah dapat disebabkan karena pemberian polifarmasi. Berkurangnya fungsi ingatan juga dapat mengurangi asupan lansia.
c.       Pengukuran Antropometri
Index massa tubuh (IMT) merupakan salah stau pengukuran antropometri yang banyak dilakukan untuk mengevaluasi status gizi pada lansia. IMT yang rendah berhubungan dengan penurunan kemampuan fungsional dan peningkatan mortalitas pada lansia.
d.      Pemeriksaan laboraturium
1)      Protein
Pengukuran simpanan protein tubuh seperti albumin, transferrin dan total iron banding capacity (TIBC) sering dipakai untuk mengukur status gizi lansia. Hipoalbumin merupakan prediktor yang baik untuk defisiensi protein pada lansia. Namun, albumin banyak terpengaruh pada status hidrasi, fungsi hati, adanya penyakit pada ginjal atau saluran cerna yang menyebabkan kehilangan protein, sehingga penentuan status gizi pada lansia dengan menggunakan serum albumin harus dilakukan setelah faktor-faktor lain disingkirkan.
2)      Kolesterol
Serum kolesterol yang rendah pada lansia juga merupakan indikator status gizi yang kurang pada lansia.
e.       Asessmen Diet
Metoda pengukuran asupan gizi pada lansia yang tepat sangat sulit karena keterbatasan fisik dan psikologis dari lansia. Food Frequency Quistionnaire (FFQ) yang sederhana dapat digunakan untuk menilai asupan gizi lansia. Metoda 3 day record juga dapat digunakan yang mana lansia diminta untuk menuliskan apa saja yang dikonsumsinya dalam 3 hari (2 hari biasa dan 1 hari libur). Selain itu recall 24 jam juga dapat digunakan, namun karena keterbatasan fungsi ingatan, metoda ini dianggap tidak sahih.
Dari pemeriksaan tersebut maka disusun diagnosis gizi pada lansia. Berdasarkan diagnosis gizi tersebut, diberikan intervensi gizi yang sesuai.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengaruh Timur Pada Psikologi Transpersonal

Tipologi Konstitusional Mazhab Jerman

teori tentang hubungan sikap dan perilaku